Menarik untuk “melirik” sejenak salah satu fenomena pergaulan saat ini yaitu pacaran sekaligus mengemukakan apakah pacaran penting atau tidak. Pacaran memang mungkin indah bagi beberapa orang yang sedang atau pernah mengalaminya. Tapi terkadang pacaran juga meninggalkan rasa sakit yang mendalam bagi sebagian orang lain. Pacaran banyak yang berakhir pada sebuah ikatan perkawinan. Tapi adakalanya pacaran membawa pada maut dan kematian, semisal kasus pembunuhan yang didasari oleh rasa cemburu yang berlebihan.
“Sebenarnya pacaran itu perlu gak sih ?”
Di antara beberapa alasan yang mendukung pentingnya pacaran adalah dengan berpacaran seseorang bisa mengenal lebih jauh sifat dan karakter dari calon pasangannya sehingga ia benar-benar yakin telah mendapatkan seseorang yang cocok baginya sebelum melanjutkan hubungan ke jenjang perkawinan.
Tapi ada yang berpendapat alasan di atas tak selamanya berlaku karena terkadang dalam masa pacaran sifat asli seseorang tidak keluar seutuhnya. Bisa jadi seseorang hanya menunjukkan sikap nya yang baik sesuai dengan keinginan dan kehendak pasangan. Ketika mereka pada akhirnya menikah agak beberapa saat lamanya, barulah kelihatan sifat asli masing-masing.
Lantas bagaimana dengan pacaran yang dilakukan anak-anak ABG (anak baru gede), yang notabene masih sekolah ? Saya kira terlalu dini dan berlebihan jika kita katakan alasan mereka pacaran adalah untuk memilih calon suami/istri mereka kelak. Apakah pacaran yang mereka lakukan bisa dibenarkan dan ada baiknya ?
Pacaran, selain digunakan untuk lebih mengenal calon suami/istri, pada kenyataannya juga merupakan bentuk ekspresi ketertarikan seseorang dengan lawan jenisnya. Semenjak memasuki masa pubertas, ketertarikan tersebut akan terus terjadi seiring makin meningkatnya hormon seksual yang dihasilkan oleh tubuh. Ketika seseorang mengungkapkan cintanya pada lawan jenis, kemudian gayung pun bersambut, maka mereka pun kerap disebut berpacaran.
Ketertarikan dengan lawan jenis adalah sangat manusiawi dan alamiah. Akan tetapi ketika dua orang yang saling mencinta melakukan praktek-praktek pacaran yang negatif dan jauh dari nilai-nilai moral dan agama, maka pacaran pun mulai dianggap negatif bagi sebagian orang.
Terkadang saya berpikir, apakah ungkapan cinta antara dua insan yang belum diikat oleh tali pernikahan, sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang berpacaran, harus diekspresikan dengan berdua-duaan, mengkhususkan waktu bagi pacarnya, dan sebagainya. Bukannya dengan berdua-duaan hanya akan memberi peluang bagi aktivitas-aktivitas yang lebih intim, dimulai dengan berpegangan, berciuman, dan hal-hal lain yang mana hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu? Kemudian kalau sampai kebablasan bukannya akan sangat disesalkan?
Pada kenyataannya, sudah terdapat pergeseran nilai yang dipegang masyarakat saat ini di dalam pergaulan, terutama di antara anak muda. Norma moral dan susila yang mungkin dipegang teguh oleh generasi terdahulu sudah ditinggalkan, apalagi norma agama. Mau tak mau kita harus mengakui bahwa nilai-nilai liberalisasi atau kebebasan yang bersumber dari barat sudah masuk hingga ke pelosok-pelosok desa di Indonesia. Masyarakat sudah semakin permisif dan seakan-akan apapun yang dilakukan, asalkan didasari atas prinsip suka sama suka dan tidak mengganggu ketentraman orang lain, mulai dibenarkan dan diterima terutama di kota-kota besar.
Menarik untuk mengetahui berbagai hasil survei mengejutkan yang pernah dilakukan menyangkut pergaulan anak muda sekarang, dimana di beberapa kota besar lebih dari setengah remaja wanitanya sudah tak lagi perawan. Dan menarik juga untuk mengetahui fakta yang terjadi di lapangan bahwa keperawanan mulai dianggap sebagai hal yang tak lagi sakral, dan melepas keperawanan dengan orang yang dicintai walaupun belum menikah, bukan lagi dianggap hal yang besar bagi sebagian wanita saat ini.
Lebih mencengangkan lagi berita yang sudah kita dengar belum lama ini dimana beberapa anak SD sudah bisa melakukan hubungan yang hanya layak dilakukan oleh suami istri, bahkan parahnya dilakukan bersama-sama berpasang-pasangan. Bayangkan saja, anak SD saja sudah bisa begitu kelakuannya.
Pernah hal ini mengemuka dalam percakapan saya dengan salah seorang teman di luar negeri, dan ia terkejut dan tak percaya jika Indonesia yang dianggap relijius dan memiliki masyarakat yang berpandangan ortodoks memiliki fakta-fakta di atas.
Menurut pendapat saya, sulit melepaskan peran hawa nafsu ketika seseorang berniat ataupun sedang berpacaran. Cepat atau lambat hawa nafsu akan memainkan peranan apalagi ketika kegiatan berdua-duaan semakin intens dilakukan.
Mengapa tak bisa seorang remaja mengungkapkan rasa cintanya melalui sebuah hubungan yang sehat, tanpa harus melalui istilah pacaran dan kegiatan-kegiatan yang terkait dengannya? Bukannya jauh lebih sehat dan positif jika bisa berhubungan dengan siapa saja, laki-laki ataupun perempuan, layaknya pertemanan sehingga pergaulan pun menjadi lebih luas dan terbuka? Jika membutuhkan teman curhat yang mengerti diri kita bukannya bisa tanpa harus dengan berpacaran?
Lain halnya ketika seseorang sudah cukup umur untuk menikah, maka tergantung dengan norma-norma yang dipegangnya, adakalanya pacaran dianggap hal yang lumrah. Itupun tentunya diharapkan masih dalam kerangka hubungan yang positif.
Terdapat beberapa hal yang kurang menyenangkan sebagai akibat berpacaran. Di antaranya adalah sakit hati diputus oleh sang pacar. Jika sudah begini, terkadang aktivitas rutin sehari-hari pun terganggu, termasuk anak sekolah dan mahasiswa. Menjadi tambah sakit setelah mengetahui bahwa selama ini sang pacar tak benar-benar mencintainya, padahal hampir seluruh upaya sudah dikerahkan dan diserahkan, tak terkecuali mungkin bagian yang paling pribadi pada dirinya. Apalagi jika sang pacar ternyata adalah seorang playboy atau playgirl.
Rasa sakit hati, yang tak jarang disertai dendam, akan bisa mengakibatkan rusaknya hubungan antara dua orang manusia selama-lamanya, hal yang mungkin tak akan terjadi jika tidak berpacaran. Adakalanya rasa sakit hati itu menjadi tidak rasional dan berujung pada suatu tindakan kriminal.
Bagi yang berpacaran secara tak sehat, adakalanya terjadi kehamilan yang tak diharapkan di luar nikah. Jika terjadi pada siswa yang masih sekolah ataupun mahasiswa, tentu pendidikannya akan terganggu, yang tak jarang berujung pada kondisi putus sekolah atau drop out. Berpacaran dengan praktik yang tak sehat juga berisiko mengundang penyakit yang ditularkan melalui kontak seksual seperti sipilis, herpes, gonorrhoea, chlamydia, hepatitis, HIV, dan sebagainya. Adalah anggapan yang salah jika seseorang berkata ia tak akan tertular penyakit jika ia hanya berhubungan dengan satu orang saja. Ia mungkin saja setia, tapi bagaimana dengan pasangannya? Adakalanya seseorang tertular penyakit walau baru sekali melakukan hubungan seksual.
Berpacaran, terutama yang dilakukan di usia belia, juga menghabiskan waktu, uang, dan tenaga yang bisa sebenarnya diperuntukkan untuk berbagai hal lain yang lebih bermanfaat. Usia muda selayaknyalah digunakan untuk hal-hal positif yang bisa berguna kelak untuk masa depannya. Sementara tuntutan untuk bersosialisasi dengan sesamanya, termasuk dengan yang berlawanan jenis, tetap bisa dilakukan tanpa harus melalui embel-embel pacaran.
Berpacaran, walaupun yang sudah lama terjalin, tak menjamin hubungan kedua orang manusia yang sedang dimabuk cinta itu berakhir di pelaminan. Sering sekali orang-orang yang sudah berpacaran sejak lama tetap pada akhirnya harus mengakhiri hubungan mereka, dan sering juga orang-orang hanya berkenalan dalam waktu singkat bisa disatukan oleh pernikahan dan langgeng hingga akhir hayatnya.
Pada akhirnya, semuanya berpulang pada diri kita masing-masing apakah menganggap pacaran itu baik atau tidak, perlu atau tidak. Dan ada berbagai alasan orang berpacaran, mulai dari bersenang-senang belaka sampai kepada keseriusan untuk menikah. Dan tentunya adalah bijak bagi orang-orang yang berpacaran untuk melakukannya secara sehat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar